Resensi Film The Company Men
Oleh : Tri Wulansari
Pemain: Ben Affleck, Chris Cooper, Tommy Lee Jones, Kevin Costner, Rosemarie DeWitt, Maria Bello, Craig T.
Nelson, Yolande Moreau
Produser : John Wells , Paula Weinstein, Claire Rudnick
Polstein
Produksi : The Weinstein Company
Sutradara : John Wells
Penulis : John Wells
Director : John Wells
Durasi : 113 menit
Sampai saat ini ekonomi makro
USA masih belum mampu tumbuh, hal ini diperkuat sajian survei potensi gagal
bayar utang luar negeri global. 2 tahun
lalu sebuah film berjudul The Company Men diproduksi dengan menyinggung prahara
kapital di sebuah perusahaan galangan kapal ternama. Nilai saham terjun turun
bebas, banyak divisi ditutup demi efisiensi,membuat banyak perusahaan melakukan
“pemangkasan” untuk menekan pengeluaran. Otomatis, PHK-pun bagaikan
gelombang tsunami. Sebuah mimpi buruk bagi semua korban PHK.
Tagline
The Company Men, “In America, we give our lives to our jobs. It’s time to take
them back”. Film didominasi dari 3 tokoh
utama: (1) Bobby, eksekutif muda bagian pemasaran yang diperankan Ben Affleck;
(2) Tommy Lee Jones yang menjadi Gene, salah seorang bos perusahaan; dan (3)
Phil, tangan kanan Gene yang dimainkan Chris Cooper. Mereka satu per satu
dipecat dari perusahaan yang selama ini menjadi tempat mereka menggali “emas”
demi membangun status sosial berkehidupan mewah dan mapan. Apa jadinya bila
mendadak saluran pipa utama penghasilan ditutup. Malapetaka rumah tangga jelas
menghadang di depan.
Film ini bercerita mengenai
kehidupan para karyawan “kerah putih”. Bobby Walker (Ben Affleck) adalah
seorang karyawan di perusahaan besar yang telah mengabdi selama 12 tahun.
Bencana yang menghantam perekonomian Amerika berimbas ke perusahaan tempatnya
bekerja. Ribuan karyawan perusahaan tersebut terpaksa “dirumahkan”, tak terkecuali
Bobby. Menghadapi keadaan barunya, Bobby tidak terbiasa dan merasa gengsinya
“terganggu”. Sebagai orang dengan gaya hidup jetset, Bobby tidak bisa menerima
kenyataan bahwa ia harus merelakan rumah besarnya (yang masih dalam proses
kredit, tentunya), Porsche kesayangannya (juga kredit), keanggotaan di klub
golf (dibayar belakangan alias “gesek kartu kredit”), dan lain sebagainya.
Dalam kondisi ekonomi negara yang carut-marut, Bobby menemukan fakta bahwa
mencari pekerjaan adalah hal yang amat sulit. Ia pun harus menghadapi cobaan
terbesar dalam hidupnya: bekerja dengan gaji yang jauh di bawah standar (dengan
level “kerah biru”) atau menjadi pengangguran selamanya.
Dua teman kantor Bobby,
Phil Woodward (Chris Cooper) dan Gene McClary (Tommy Lee Jones), juga mengalami
hal yang sama. Tragisnya, mereka adalah pegawai senior berusia lanjut yang
tidak akan mendapatkan pekerjaan di perusahaan mana pun karena faktor usia. Mereka harus belajar kehidupan nyata
tanpa memiliki pekerjaan dengan memulai hidup baru yang sangat berbeda ini,
mengubah lifestyle keluarga, kehilangan rumah dan keegoisannya. Film yang telah
rilis di Amerika pada 21 Januari 2011 ini mengajarkan kita bahwa kehidupan
lebih penting daripada sekedar pekerjaan. Bekerja memang sangat kita perlukan
untuk menopang hidup ini, tapi jangan sampai kita melupakan arti hidup itu
sendiri. Bobby lalu mencari uang sebagai pelatih dan membangun rumah saudara
iparnya (Kevin Costner). Secara perlahan, mereka mampu kembali
bangkit dan memulai sebuah usaha baru.
Dengan tema cerita yang cukup serius, dan
banyaknya karakter yang harus diceritakan, John Wells ternyata mampu membuat The
Company Men menjadi sebuah kisah menarik yang menyelaraskan antara kisah
intrik politik dalam sebuah perusahaan, drama keluarga serta perjuangan
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ketiga karakter yang digambarkan oleh
Wells di film ini juga cukup mampu untuk merepresentasikan setiap karakter
pekerja yang baru saja mengalami pemecatan.
Sebuah film yang begitu penuh
dengan percikan semangat dan motivasi. Setelah menonton film ini saya ingin
memberikan beberapa pendapat tentang film ini. Film ini mempunyai beberapa
analisis mengenai pengembangan teori psikologi terutama motivasi dan cerita
moral. Berikut beberapa poin penting yang saya dapat dari film ini:
1.
Hidup
itu tidak abadi, dan roda itu terus berputar kadang di atas, dan kadang di
bawah. Dalam film ini diceritakan Phill dan Gene dipecat dari perusahaan yang
dibangunnya sendiri bersama dengan Jim sahabatnya. Jobs dipecat oleh pemegang saham,
sementara Phill dan Gene dipecat oleh Jim, sahabatnya sendiri. Kesuksesan dan
kejayaan itu Cuma sementara, dan kita pun harus sadar dan yakin kalau
keterpurukan itu juga cuma sementara.
2.
Hidup
ini adalah suatu pilihan yang didalamnya terdapat banyak pilihan-pilihan lain.
Phill dan Gene yang sama-sama dipecat menghadapi permasalahan itu dengan
pilihan cara yang berbeda pula. Meskipun stressor-nya sama tetapi setiap
individu memiliki coping stress yang berbeda. Salah satu teori di psikologi
motivasi mengatakan bahwa saat stressor datang seseorang bisa memilih fight
atau flight. Fight dengan bangkit dan terus maju, atau Flight
dengan berdiam diri meratapi nasib dan tidak melakukan apa-apa. Phill dan Gene
pun memilih pilihannya masing-masing.
3.
Seberat
apapun masalah yang dihadapi, selama kita masih memiliki orang-orang disekitar
kita yang terus mendukung kita, maka masalah itu akan terasa ringan. Bobby yang
memiliki istri dan anak-anak yang sangat mendukungnya pun akhirnya bisa
melewati masa-masa setelah di pecat ini dengan semangat yang tetap berkobar.
Sedangkan, Istri Phil sama-sama tidak bisa menerima pemecatan ini dan akhirnya
tidak bisa memberikan dukungan pada suaminya.
4.
I
will win!! WHY? Becaus I have FAITH, COURAGE, and ENTHUSIASM. Ini adalah quotes
yang diajarkan si Trainer pada para karyawan yang baru dipecat dalam film ini.
Saya yakin itu benar! Karena dengan quotes itu bisa menanamkan passion dalam
diri kita untuk bangkit.
5.
Begitu hebatnya perusahaan yang memecat
mereka, perusahaan tetap memberikan orientasi pada mereka yang dipecat. Selain
pesangon dan tunjangan, perusahaan tetap memberikan fasilitas bagi ex-karyawan-
karyawan tersebut untuk mencari pekerjaan disebuah ruangan di kantor tersebut,
seperti telepon, mesin foto kopi, fax, dll. Ada juga pengarahan- pengarahan
dari trainer yang terlihat berlatar psikologi untuk memberi motivasi dan
semangat kepada mereka.
Terlepas dari 5 point di atas
yang bisa dipetik dari film ini, ada juga sisi kreatif dari film ini yang bisa
dianalisis. Tidak seperti film pada umumnya, film ini tidak menggunakan tulisan
untuk menunjukkan pergantian waktu. Film ini mencoba menceritakan pergantian
bulan, dengan memunculkan adegan-adegan mendukung seperti pergantian musim,
perubahan busana yang digunakan, dan juga memunculkan special event yang
berhubungan dengan bulan tertentu seperti thanksgiving, natal, dan tahun baru.
Perjalanan waktu ini pun berjalan begitu mulus tanpa terlihat seperti melompat.
Mungkin cerita yang mengalir ini juga yang membuat beberapa orang berkomentar
kalau film ini sangat membosankan karena terlalu banyak mengobrol, tapi
setidaknya film ini menyuguhkan cerita yang real dan bisa kita lihat di
kehidupan nyata.